Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.
Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
Para pengamat menyebutkan bahwa komunikasi nonverbal di mana pun lebih dominan daripada komunikasi verbal, terlebih lagi di negara-negara Timur seperti Indonesi yang menganut komunikasi konteks-tinggi (lebih banyak pesan yang tersirat daripada tersurat), khususnya suku Jawa dan suku Sunda. Itu berarti bahwa pesan dari mitra komunikasi kita pun pada dasarnya lebih banyak bersifat nonverbal ketimbang verbal. Dengan asumsi bahwa keberhasilan komunikasi kita bergantung pada sejauh mana kita memahami pesan dari orang lain, komunikasi kita tak akan berhasil jika kita mengabaikan pesan nonverbal orang lain tersebut.
Komunikasi antarbudaya lebih pelik daripada komunikasi intrabudaya. Para peserta komunikasi harus peka terhadap perbedaan budaya, memahami bahasa verbal, bahasa nonverbal dan nilai-nilai lain yang dianut mitra komunikasi mereka, termasuk nilai-nilai agama. Riset menunjukkan, orang Amerika menganggap orang yang gemar berbicara sebagai menarik, sedangkan orang Korea menganggap orang yang kurang berbicara sebagai lebih atraktif. Bahasa Arab penuh dengan overekspresi, banyak kata sifat, kata-kata berlebihan, dan kiasan untuk menekankan pendapat. Apa yang dikatakan sering tidak sepenting bagaimana hal itu dikatakan. Bahasa berbunga-bunga dihargai terlepas dari isinya. Pembicaraan yang keras digunakan untuk mendramatisasikan (Deresky, 2000:150).
Inti permasalahan komunikasi antarbudaya, menggunakan perspektif Arnett, adalah ketidakmampuan untuk secara serius menganggap pandangan sendiri sebagai salah dan pendapat orang lain sebagai benar. Komunikasi ditandai dengan retorika bahwa kita benar dan mereka salah (Gudykunst Kim, 1992:258). Dengan kata lain, setiap kelompok budaya cenderung etnosentrik, memandang budayanya sendiri sebagai unggul atas budaya lain dan mengukur budaya lain dengan parameter budayanya sendiri, termasuk dalam memaknai pandangan hidup, pesan verbal dan nonverbal orang dari suku atau bangsa berbeda.