Buku ini berisi kajian yang diharapkan agar pembaca mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis; 1). Pemaknaan anggota DPRD terhadap representasi fungsinya dalam melaksanakan tugas check and balancing di Kabupaten Ponorogo. 2). Faktor yang melatarbelakangi pemaknaan representasi fungsi anggota DPRD dalam melaksanakan tugas check and balancing di Kabupaten Ponorogo.
Kajian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian dilakukan di DPRD Kabupaten Ponorogo. Subyek penelitian adalah para anggota DPRD, sedangkan obyek penelitiannya adalah semua fenomena yang menjadi fokus penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi, dengan menggunakan instrumen inti dan bantu. Analisis hasil penelitian dilakukan secara continue, mulai dari penggalian data sampai analisis, menggunakan tahapan-tahapan; open coding, axial coding, dan selective coding. Untuk memperoleh keabsahan data digunakan langkah-langkah teknik pemeriksaan yang memenuhi kreteria; credibility, transferability, dependability dan confirmability.
Hasil kajian didapati bahwa; 1. Pemaknaan anggota DPRD terhadap representasi fungsinya dalam melaksanakan tugas check and balancing di Kabupaten Ponorogo, meliputi; a). Peningkatan pengetahuan dan pemahaman, melalui; memposisikan diri sebagai penyalur aspirasi masyarakat dan internalisasi nilai-nilai, harapan, keinginan masyarakat. b). Penghayatan representasi fungsi dan peran anggota legislatif, terbagi; representasi politik, mandate, dan independen terekspresikan dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku. c). Implementasi fungsi check and balance meningkatkan kedudukan sejajar bermitra dengan eksekutif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan dengan mendasarkan pada perda sebagai nilai, norma, dan rujukan. 2. Faktor yang melatarbelakangi representasi fungsi anggota DPRD dalam melaksanakan tugas check and balancing, meliputi; a). Kualitas kinerja anggota diean dipengaruhi oleh faktor; latar belakang organisasi, konsep diri, dan orientasi menjadi anggota legislatif. b). Sistem kepartaian dan pemilihan terbuka, deideologi partai politik menyebabkan berkembangnya budaya perilaku politik transaksional. c). Berkembangnya budaya politik pragmatis dan kegagalan kaderisasi partai politik berdampak terhadap minimnya kader kepemimpinan yang memiliki integritas kenegarawanan. d). Semakin meningkat kapasitas anggota legislatif, maka semakin mendorong optimalisasi pelaksanaan tugas, fungsi, peran dan wewenang DPRD.