Bunga kunir terlihat mekar terpelintir menghiasi kebun penduduk Kranggan, Gesing, Purwantoro Jateng. Mbah Ronggo pagi ini naik sepeda pancal menuju Madiun untuk mengirim natura (logistik) uang kepada Rudito Purwono, yang tengah sekolah SMP 5 di Madiun. Dia berbusana bangsawan Jawa berwarna putih, memakai blangkon, berkacamata, bersandal selop, dan menunggang sepeda torpedo warna hitam kecoklatan. Sedangkan di boncengan sudah ada kampluk berisi beras, dan aneka lauk untuk Si Pur di Madiun. Dan di stirnya sudah menggantung tas kulit sangat unik dan menandakan kalau yang lewat adalah seorang bangsawan.
Awal tahun 1965, perhelatan politik di Gesing terasa memanas. Masa PKI, Masyumi, dan PNI terasa mengeluarkan sentiment-sentiman pribadi, yang dibawa ke dalam sentiment golongan. Namun aku dan Mbah Ronggo tetap netral, senetral netralnya. Maklum aku dan beliau merupakan tokoh panutan yang mengayomi semua golongan. Namun walau begitu godaan kepada diriku kian menjadi-jadi. Mulai godaan asmara yang datang dari pejabat, dan pemuda Gesing yang terpana dengan kecantikanku, hingga para politisi yang saat itu mencari masa. Termasuk Pamong Desa yang tergila-gila kepadaku.
Sebelum Mbah Ronggo (75) meninggal (30 September 1965), umurku menginjak usia 27 tahun. Si Pur sudah kelas tiga sekolah di SMP 5 Madiun. Dan Endang kelas satu, sekolah di SMP 1 Ponorogo. Ibarat bunga, maka sejak diperistri Mbah Ronggo- aku adalah sekuntum melati yang tengah mekar dan semerbak harum mewangi. Banyak kumbang yang menari-nari di sekelilingku. Ada yang biasa-biasa. Ada yang menggebu-gebu, ada yang terus terang. Juga ada yang malu-malu kucing terhadapku. Aku menjadi serba salah menanggapi ulahnya. Aku harus menyambutnya dengan santun, tidak boleh membeda-bedakan, seperti ajaran Mbah Ronggo .
Sepeninggal Mbah Ronggo, isterinya terasa terpukul yang sangat berat hidupnya. Dua anak yang ditinggalkan Mbah Ronggo, masih kecil-kecil semuanya. Mau diapakan, dan mau dikemanakan. Dulu nikahnya memang masih kecil, masih berumur 8 tahun waktu itu. Bahkan tetangga-tetanggaku menyebutnya lebih pantas, kalau kedua anakku itu adalah adik-adikku. Sangking umurku masih belia saat itu.