Novel

bu ronggo

Detail Buku

Judul bu ronggo
Harga Rp 92.000,00
ISBN 978-602-6802-74-3
Penulis Ki Setyo Handono
Penerbit WADE Group
Tanggal Terbit 24 Januari 2018
Jumlah Halaman 470 Halaman
Kategori Novel
Berat Buku 500 Gram

Overview

     Bunga kunir terlihat mekar terpelintir menghiasi kebun penduduk Kranggan, Gesing, Purwantoro Jateng. Mbah Ronggo pagi  ini naik sepeda pancal menuju Madiun untuk mengirim natura (logistik) uang kepada Rudito Purwono, yang tengah sekolah SMP 5 di Madiun. Dia ber­busana bangsawan Jawa berwarna putih, memakai blangkon, ber­kaca­mata, bersandal selop, dan menunggang sepeda torpedo warna hitam kecoklatan. Sedangkan di boncengan sudah ada 'kampluk' berisi beras, dan aneka lauk untuk Si Pur di Madiun. Dan di stirnya sudah menggantung tas kulit sangat unik dan menandakan kalau yang lewat adalah seorang bangsawan. 

   Awal tahun 1965, perhelatan politik di Gesing terasa memanas. Masa PKI, Masyumi, dan PNI terasa mengeluarkan sentiment-sentiman pribadi, yang dibawa ke dalam sentiment golongan. Namun aku dan Mbah Ronggo tetap netral, senetral netralnya. Maklum aku dan beliau merupakan tokoh panutan yang mengayomi semua golongan. Namun walau begitu godaan kepada diriku kian menjadi-jadi. Mulai godaan asmara yang datang dari pejabat, dan pemuda Gesing yang terpana dengan kecantikanku, hingga para politisi yang saat itu mencari masa. Termasuk Pamong Desa yang tergila-gila kepadaku. 

      Sebelum Mbah Ronggo (75) meninggal (30 September 1965),  umur­ku menginjak usia 27 tahun. Si Pur sudah kelas tiga sekolah di SMP 5 Madiun. Dan Endang kelas satu, sekolah di SMP 1 Ponorogo. Ibarat bunga, maka –sejak diperistri Mbah Ronggo- aku adalah sekuntum melati yang tengah mekar dan semerbak harum mewangi. Banyak kumbang yang me­nari-nari di sekelilingku. Ada yang biasa-biasa. Ada yang menggebu-gebu, ada yang terus terang. Juga ada yang malu-malu kucing terhadapku. Aku menjadi serba salah menanggapi ulahnya. Aku harus menyambutnya dengan santun, tidak boleh membeda-bedakan, seperti ajaran Mbah Ronggo .

     Sepeninggal Mbah Ronggo, isterinya terasa terpukul yang sangat berat hidupnya. Dua anak yang ditinggalkan Mbah Ronggo, masih kecil-kecil semuanya. Mau diapakan, dan mau dikemanakan. Dulu nikahnya me­mang masih kecil, masih berumur 8 tahun waktu itu. Bahkan tetangga-tetanggaku menyebutnya lebih pantas, kalau kedua anakku itu adalah 'adik-adikku'. Sangking umurku masih belia saat itu.   


SHARE





ilmu qiroat

Rp 56.600

panduan membuat media pembelajaran 3d dengan aplikasi momentcam dan media pop up

Rp 0

faktor lingkungan kerja dan kecerdasan emosional

Rp 49.700

dialektika nilai filosofi dan ekonomi dalam tradisi ngumbah keris pada bulan suro di ponorogo

Rp 47.000

garam dan fortifikasi garam

Rp 84.800

cara mengawetkan kayu untuk rumah sederhana

Rp 63.300

Sign up for Our Newsletter

Langganan Informasi dan Produk dari Kami